Budayawan Dr. Koentowijoyo, punya cacatan tersendiri terhadap kota Solo, Jateng. Daerah yang memiliki predikat sebagai "Kota Budaya" ini, menurutnya, kini justru mengalami "bencana" yang ia sebut krisis kebudayaan.
Dosen Fakultas Sastra UGM Yogyakarta ini, memcatat krisis mulai melanda Kota Solo sejak permulaan Abad ke-20. Sejak itu, warga sini mengalami tiga krisi kebudayaan. Yakni, krisis kebudayaan berupa rasial, sosial,dan konflik politik.
Koento, memaparkan hal ini ketika berbicara dalam seminar bertema 'Revitalisasi dan Rekonsialasi Kota Solo; Wacana Arsitektur dan Seni Budaya PAsca Kerusuhan' di Istana MAngkunegaran, Sabtu (24/4)pekan lalu. Kegiatan ini diselenggarakan PWS (PAguyuban Wong Solo), IAI (Ikatan Arsitek Indonesia), IALI, Solo Heritage Sociaty, Panitia Indonesia 2000.
Indikasi krisis kebudayaan mulai melandaKota Solo, menurut Koento berupa konflik rasial. Ini terjadi menjelang terbentuknya organisasi SI (Serikat Islam) tahun 1911. Semula, Solo merupakan kota multirasial yang begitu rukun. NAmun, kemudian kondisi kesimbangan waktu itu terganggu lantaran perkembangan dunia bisnis.
Sedang indikasi krisis kebudayaan berupa konflik sosial, terjadi dalam revolusi kamerdekaan. "Waktu itu, ada usaha gerakan untuk menghapus apa yang disebut sebagai stratifikasi sosial. Yakni, antara kelompok kaum priyayi dan wong cilik, " ujar Koento dalm makalah yang dibacakan istrinya, Dra. Sualaningsih, MA.
Koento, memang hadir di tengah seminar itu. LAntaran ia mengalami gangguan bicara----setelah sakit stroke beberapa tahun yang lalu-----istrinya, budayawan yang berpikiran cemerlang inipun, mampu menjawab pertanyaan dalam dialog yang berlangsung seru. Prof. Dr. Umar Khayam, mantan Menpen Mashuri SH, REktor Undip Semarang Prof Ir. Eko Budiharjo M Sc, Suhadi HAdiwinoto dari Word Bank, juga tampil sebagai pembicara.
Masih menurut Koento, indikasi krisis kebudayaan berupa konflik politik pecah pada pertengahan Mei 1998 lalu. Yakni, kerusuhan massa sebagai puncak aksi untuk menumbangkan pemerintahan Orde BAru. Kemudian, diikuti dengan lengger-nya Soeharto dari kursi kekuasaan. Kerusuhan massa waktu itu, menelan banyak korban. BAik jiwa maupuan materi, termasuk rusaknya bangunan maupun fasilitas umum.
Krisis kebudayaan yang melanda Kota Solo, banyak mengundang kegerahan beberapa kalangan. Tak kurang Pengageng Istana MAngkunegaran, KGPAA Mangkunegoro IX. Kini, ia prihatin dengan kondisi lingkungan sekitar. HAmpir semua tanam di ruang publik di sini, hilang. Kondisi Solo sekarang sudah nglungsungi (berubah kulit permukaan-red). Tempat-tempat itu, sekarang "dijarah". Kemudian, dijadikan ajang mendatangkan uang.
Hilangnya ruang publik, menurut Gusti Mangku - panggilan akrab KGPAA Mangkunegoro IX di dalam tembok istana - bukan disebabkan oleh ulah manusia semata. Tapi, juga disebabkan oleh keadaan. " Keadaan yang salah," katanya. Atau sebagian orang sekarang sudah atau memang tidak tahu akan tata nilai. Mungkin juga, sebagai cara untuk melepas tangung jawab akan kelestarian situs yang bernilai budaya.
Gusti MAngku mengakui, pendahulu Puro Mangkunegaran mampu dan mau membangun pelbagai fasilitas publik. Karena, mungkin penguasa waktu itu punya duit. Sekarang? "Jangankan membuat, merawat saja tidak mampu," katanya. Bisa jadi pula, generasi manusia sekarang tidak searif pendahulu.
Ir. Rudi Subanindro, wakil dari Kraton Kasunanan juga mengakui kondisi rusaknya lingkungan budaya Solo. Kini, banyak aset warisan arsitektur keraton bernilai budaya tinggi, terbengkalai. Malah, banyak yang "hilang". Sejumlah arsitektur kuno digusur. Kemudian, diganti bangunan bernuansa aroma yang katanya, modern. " Seyogyanya, bangunan kuno itu dilestarikan. Bila perlu dipertahankan sampai kapanpun." |