WARTA SENI DAN BUDAYA

Selasa, 27 April 1999

'Sekar Pembayun' Sukses di Yogyakarta, Tari Tradisi Bisa Jadi Tontonan

Tari 'Sekar Pembayun' karya Retno Maruti yang dipentaskan grup Padneswara di Yogya, Sabtu-Minggu 24-25 April 1999, berlangsung sukses. Dari awal hingga pergelaran berakhir, penonton tidak beranjak dari tempat duduknya, dan apalus panjang diberikan saat pertunjukan berakhir.

Sekar Pembayun diciptakan Retno Maruti. Pertama kali dipentaskan tahun 1979, dan kedua tahun 1988. Pada pementasan ketiga, tahun 1999 ini, Sekar Pembayun mengalami beberapa pengayaan dalam ungkapan estetis. Durasinya juga dipendekkan dari satu setengah jam menjadi satu jam. "Beberapa bagian cerita yang bertele-tele, saya hilangkan tanpa mengganggu penampilan secara keseluruhan," kata Retno Maruti kepada KR, seusai pentas Minggu (25/4) malam.

Melihat besarnya animo penonton dalam dua kali pementasan di Yogyakarta, baik Retno Maruti maupun Nungki Kusumastuti selaku pimpinan produksi, mengaku sangat gembira. "Ini sangat membesarkan hati kami," kata Nungki. Sementara Retno menambahkan, "Penghargaan yang sangat besar bagi saya. Bahwa karya saya dihargai oleh pencinta seni." Meskipun mencatat sukses besar dua kali berturut-turut, keduanya belum bisa memastikan apakah Sekar Pembayun akan kembali dipentaksan dalan waktu dekat ini.

Kisah Sekar Pembayun mengantar satu pesan moral, rakyar tidak boleh menjadi korban dari pertikaian di kalangan elit pemerintahan. Ketegangan yang berpotensi konflik antara Mataram dan Mangir, akhirnya dapat diselesaiakan dengan 'diplomasi' yang memungkinkan aspirasi kedua belah pihak. Baik Mataram maupun Mangir tidak kehilangan muka, martabat, dan kewibawaan tanpa harus melalui pertumpahan darah.

Melalui pergelaran karya ini, Retno Maruti ingin menghapus anggapan keliru bahwa tari tradisi sangat ketinggalan. "Tari tradisi ternyata masih dapat ditonton, bahkan terus berjalan," papar Maruti.

Pementasan di Yogyakarta didukung sekitar 70 orang, terdiri penari, pengrawit dan kru panggung. Retno Maruti yang menjadi pimpinan grup Padneswara, bertindak sebagai penata tari, tembang, dan gending. Asisten Penata Tari adalah Djoko SS dan Rury Nostalgia (putri Retno Maruti). Sedang Nungki Kusumastuti selain sebagai panari utama, juga menjadi pimpinan produksi dalam pergelaran tari ini.

(Sumber : KR Selasa Pahing 27 April 1999)

 

Melongok rumah bersejarah di Kotagede (1) - Tempat tinggal keluarga yang multifungsi

Rumah joglo berarsitektur kuno yang terletak di Kampung Boharen KG III/653, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede itu didirikan pertama kali oleh H. Mukmin, seorang pedagang di Kotagede pada tahun 1860. Rumah tinggal itu memang tinggi makna sejarahnya. Rumah tersebut bercorak arsitektur Jawa, dengan tata ruang Jawa yang berpegang pada pola tata letak yang sudah baku.

Pemilik rumah, Drs. Kharis Zubair  SU. mengungkapkan bahwa beberapa tahun setelah H. Mukmin menempati rumah itu kemudian dia (H. Mukmin) pindah ke rumah lain, masih dalam kampung yang sama. Rumah tua milik dosen Filsafat UGM tersebut, kemudian ditempati salah satu anaknya, yakni H. Muchsin bin Mukmin.

Rumah tersebut aslinya berdiri pada tanah seluar 2.500 meter persegi. Masih dalam bagian tanah itu, seluas 750 meter persegi, kini telah berdiri sekolah dasar yang dikelola oleh Yayasan Ma'had Islamy.

Pola tersebut bercirikan menghadap selatan, pandapa dengan arsitektur joglo, pringgitan yang juga dilengkapi dengan dua bilik untuk kamar tidur, dalem ageng (ruang utama) dengan tiga senthong, kiwa, tengah dan tengen. Serta dapur yang berdampingan dengan kamar mandi di sebelah kiri. Rumah tersebut juga memiliki gandhok wetan dan kulon.

"Pada masa H. Muhsin masih hidup, rumah tersebut disempurnakan dengan didirikan surau (langgar) dengan corak arsitektur khas, yaitu merupakan langgar yang dibangun dengan tiang tinggi seperti rumah panggung, langgar tersebut dibangun pada awal tahun 1900-an."

"Langgar tersebut terletak didepan sebelah kanan dari pendapa. Tahun 1930, rumah itu diganti lantainya dari semen biasa menjadi tegel, terutama di pendapa, pringgitan dan gandhok kulon," tuturnya.

Sepeninggal H. Muhsin tahun 1948, kata pria berambut gondrong kelahiran Jumat Kliwon 27 Juli 1952 itu, rumah tersebut kemudian ditempati oleh H. Zubair bin Muhsin, ayah Kharis.

Pada masa ayahandanya, rumah tersebut dilengkapi dengan dua buah kamar tertutup yang terletak di sebelah timur pendapa dan satu kamar yang terletak di gandhok wetan.

Setelah H. Zubair meninggal dunia, baru giliran Kharis sekeluarga menempatinya hingga sekarang. "Sejak tahun 1988, sepeninggal bapak, karena rumah ini tak ada yang menunggu (saudara kandung lainnya di luar kota), maka saya hijrah dari Timoho ke Kotagede ini."

Secara fungsional rumah tersebut selalu menjadi rumah kediaman pribadi, tetapi juga oleh pemilik/penghuninya rumah tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum/masyarakat.

Langgar tersebut sejak berdirinya sampai dengan wafatnya H. Zubair bin Muhsin digunakan untuk salat jamaah keluarga dan tetangga. Tetapi tetangga kini tidak lagi salat disana karena masyarakat telah memiliki mushala sendiri.
(bersambung ke bagian 2)

(sumber: Solopos, Selasa Pahing 27 April 1999)

 

Sebagai Kota Budaya Jawa, Jangan Malu Lanjutkan Identitas Solo

Sejarawan Dr Kuntowijoyo menyarankan sebaiknya masyarakat Solo jangan malu-malu melanjutkan identitas Solo sebagai kota budaya Jawa. Tentu saja penentuan identitas kota ini harus bersaing ketat dengan Yogya juga kebetulan juga mengklaim hal yang sama. Karenanya, kalau ingin eksis dalam persaingan identitas, Solo harus bisa membedakan diri dengan Yogya.

Caranya bisa menekankan Kejawaan dari Solo, satu hal yang mungkin telah hilang dari Yogya karena proses internasionalisasinya lebih pesat.

"Cara lainnya ialah mendadani diri supaya Solo cantik, persis seperti semboyan Solo Berseri," jelas Kuntowijoyo ketika tampil sebagai keynote speech sarasehan "Revitalisasi dan Rekonsiliasi kota Solo" di Pura Mangkunegaran.

Menurutnya, dari segi Kejawaan Solo perlu diterjemahan dalam arsitektur, petamanan, kesenian, perilaku warga, bahasa, makanan dan lain-lain yang mudah dilihat. Alangkah membosankannya Indonesia, kalau kemanapun kita pergi hanya menyaksikan penyeragaman-penyeragaman.

"Kita harus bisa membuat Solo menjadi tempat hunian yang ramah bagi warganya, sekaligus  kompetitif ditengah persaingan antar kota. Maka pada hemat kami, ada sebaiknya kita bersemboyan Solo's future is Solo's past, masa depan Solo adalah masa lalu Solo," kata sejarawan UGM sembari meyakinkan bahwa sejarah itu maju secara spiral. Selalu lebih maju dari yang kemarin, tetapi juga selalu mirip dengan yang kemarin. Bukan cakra manggilingan artinya bukan sekadar kembali ke masa lalu.

Gagasan di atas dilontarkan sebagai upaya merevitalisasi dan rekonsiliasi Solo setahun ini menjadi porak poranda akibat kerusuhan Mei 1998. Bahkan Kuntowijoyo, cendikiawan yang pernah merasakan sejuk dan ramahnya Solo sempat kaget, setelah beberapa lama Solo berubah menjadi haunted city. Karena ada mekanisme, kekasaran dan keangkuhan. "Yang dulu lunak menjadi keras, yang lemah lembut menjadi kasar, yang ramah menjadi garang. Jadi ada yang hilang dari Solo."

Kuntowijoyo mengajak untuk kembali berebut karakter ke-Solo-an, membawanya ke masa depan, sebuah kota modern tanpa konflik sosial. Karenanya kita perlu merumuskan apakah identitas Solo itu. Secara fisik, identitasnya sejuk dan ramah. Masyarakatnya multirasial dan berorientasi bisnis. Kemudian secara budaya ada kehidupan intelektual, kesenian, adi bujana, komtemplatif dan religius. Dari sini akhirnya muncul gagasan menentukan identitas Solo sebagai kota budaya Jawa.

Pokok-pokok pikiran Kunto, banyak mendapatkan tanggapan positif termasuk dari budayawan Umar Kayam. Hanya saja ia lebih condong membahas dari segi budaya.

Sarasehan ini menampilkan sejumlah pembicara, diantaranya Rektor Undip Prof Ir Eko Budihardjo M Sc. Ir Adhi Moersid, Dr Ir Bondan Hermanislamet M Sc (UGM), Ir Kusumastuti MURP (UNS), Dr Ir Laretna T Adhisakti M Arch (UGM). Sarasehan dibuka KGPAA Mangkoenogoro IX.

(sumber KR Selasa Pahing 27 April 1999)

 
bricks

| Contact | Webmaster |

Kerjasama antara DEPARTEMEN PARIWISATA, SENI DAN BUDAYA Republik Indonesia, dengan PT. ASANA WIRASTA SETIA, Jakarta

Institusi Pendukung: InCoDE, Yogyakarta

1999